Presiden juga melakukan politik ketakutan, baik yang ada di kelompok capres maupun pada para kepala daerah. Maka lanjut Ikrar, jangan kaget jika upaya Masinton Pasaribu mengusulkan Hak Angket tidak mendapatkan dukungan parlemen bahkan dari partai sendiri.
“Parlemen tidak berhasil menjadi balancing bagi jalannya pemerintahan. Kekuatan parlemen ada di tangan Jokowi” paparnya.
Ikrar menyarankan rakyat Indonesia untuk segera bertindak, bukan omong-omong.
“Kita tidak sekadar siaga, tetapi harus bergerak. Tapi kita tidak akan melawan aparat TNI Polri. Mereka bagian dari masyarakat Indonesia” tegasnya.
Para perwira kata Ikrar harap kembali ke tugas pokok TNI, jaga serangan dari luar. Tugas Polri pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat, bukan penguasa.
Tidak ada tugas TNI Polri yang menjalankan perintah presiden memenangkan salah satu paslon. Jika demikian, maka polisi ikut merusak demokrasi. “Kita harus hindari demokrasi kaum penjahat,” tegasnya.
Ikrar juga menyinggung Presiden yang mengundang organisasi kepala desa ke istana.
“Kalau kepala daerah sudah di tangan Presiden, apa yang kalian bisa lakukan?” tanyanya.
Ikrar mengajak TNI dan Polri untuk tidak terjebak dalam permainan dinasti politik yang terdiri dari Jokowi, Iriana, Gibran, Kaesang dan Bobby.
“Demokrasi kita dirusak hanya oleh 5 orang,” paparnya.
Sementara Ubedilah Badrun menegaskan bahwa prestasi sangat penting bagi sebuah negara demokratis jika sirkulasi pemilu dengan demokratis.
Oleh karena itu penyelenggara pemilu dan wasit harus independen. Kalau on the track, maka demokratis.
Fakta di Indonesia saat ini penyelenggara Pemilu melanggar etik dan cacat moral. Apalagi presiden terang terangan cawe-cawe.
Kecurangan pemilu kata Ubed dilakukan sejak awal.
“Siapa yang paling bertanggungjawab? Ya Jokowi. Kalau faktor utamanya sudah jelas, maka Pemilu wajib tanpa Jokowi,” pungkasnya. (*)
IN – pcs Indonesia Rusak oleh Lima Orang, Gatot Nurmantyo Bentuk Posko Siaga